Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam dua tahun terakhir pandemi merebak di dunia, ada banyak teori yang berkembang di masyarakat dunia. Misalnya soal penurunan kasus Covid-19 memasuki musim panas atau pertengahan tahun.

Namun Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyatakan jangan mengandalkan hal tersebut. Kita tidak bisa mengandalkan harapan bahwa musim atau suhu akan jadi jawaban (penyebaran penyakit), kata kepala program kedaruratan WHO, Mike Ryan pada tahun 2020 lalu, dikutip dari Times of India, Rabu (8/6/2022).

Pada satu penelitian dari 221 kota di China menyimpulkan suhu, kelembaban, dan siang hari tidak mempengaruhi kecepatan penyebaran penyakit. Dua penelitian lain menemukan efek infeksi, termasuk di 47 negara yang penularan lebih lambat terkait dengan suhu yang lebih tinggi seperti di Fillipina, Australia, dan Brasil.

Dalam sebuah studi lain, dari 117 negara menyatakan di belahan Bumi utara kemungkinan kasus Covid-19 akan turun saat musim panas. Sebaliknya pada musim dingin, kasus kembali bangkit.

Penelitian ini menemukan peningkatan 1 derajat lintang pada jarak dari khatulistiwa terkait dengan peningkatan 2,6% kasus Covid-19.

Sementara itu, menurut Simon Clarke yang merupakan pakar cellular microbiology di Universitas of Reading Inggris, alasan cuaca dingin menyebabkan penyebaran batu, pilek, dan flu karena cuacanya menyebabkan iritasi pada hidung dan saluran udara. Hal itulah yang membuat orang-orang jadi rentan pada infeksi virus.

Alasan mengapa cuaca dingin diduga menyebabkan penyebaran batuk, pilek, dan flu adalah karena udara dingin menyebabkan iritasi pada saluran hidung dan saluran udara, yang membuat kita lebih rentan pada infeksi virus, ungkapnya.

Nampaknya juga karena cuaca musim dingin membuat orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan. Meskipun pada musim panas, sebenarnya berlaku hal yang sama karena penggunaan AC.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Simak! Ini Fakta-fakta Terbaru Covid Omicron Versi Pakar UI