Jakarta, IDN Times - Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membeberkan tentang pentingnya moderasi beragama di Tanah Air. Menurut Lukman, moderasi beragama berbeda dengan moderasi agama.
Agama, kata Lukman, tidak perlu dimoderasi. Namun, cara untuk memahami agama, cara beragama yang perlu dimoderasi.
Jadi agama itu satu hal, sementara beragama itu hal lain, terkadang kita suka menyamakan, padahal ini dua hal berbeda, agama pastilah benarnya, karena dia berasal dari yang Maha Benar, Yang Maha Sempurna, ucapnya.
Baca Juga: Menag: Moderasi Kunci Kerukunan dan Toleransi Umat Beragama
1. Pentingnya moderasi beragama dan tantangannya
Menurut Lukman, ada tiga tantangan utama moderasi beragama di Indonesia. Namun, sebelum itu, dia menerangkan terlebih dahulu apa pentingnya moderasi beragama.
Kenapa sih kita harus moderat dalam beragama? Jadi saya ingin dudukkan dulu tentang istilah ini, bukan moderasi agama, karena agama tidak perlu dimoderasi, karena agama dengan sendirinya pastilah moderat dalam artian tidak berlebihan, tidak ekstrem, ujar Lukman.
Menurutnya, moderasi beragama diperlukan untuk kondisi Indonesia yang masyarakatnya agamis dan majemuk.
Jadi teman-teman perlu sangat disadari kita sebagai bangsa ini beda dengan bangsa-bangsa lain, selain kemajemukan kita yang memang khas banget dibanding bangsa lain, nyaris tidak ada di dunia dari sisi ras beda, kita beda ras, saudara di timur etnisnya, bahasa, budaya dan sebagainya apalagi, tapi yang khas ciri keIndonesiaan adalah tingkat keberagamaannya, katanya.
Adapun tantangan pertama moderasi beragama adalah terkait orang yang menganggap agamanya semakin ekslusif, sehingga memunculkan orang yang mudah menghakimi pihak lain.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Lalu muncul, bergama kok membangun konfrontatif dalam beragama, membangun permusuhan, ceramah, dakwahnya caci maki, menebar permusuhan, menebar fitnah, ujarnya.
Baca Juga: MUI: Penistaan Jadi Bukti Turbulensi dalam Moderasi Beragama
2. Minim ilmu agama sudah melakukan penafisiran sendiri
Tantangan kedua yakni, muncul orang yang ilmu agamanya minim tapi sudah melakukan penafsiran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, memunculkan kesimpulan yang keliru.
Makna jihad yang kemudian mengalami defiasi, distorsi tapi memutarbalikkan makna. Hijrah, hijrah yang tadinya maknanya baik dari kondisi yang buruk, jadi baik lalu kemudian menjadi tidak mau bergaul dengan yang berbeda, gak mau bertetangga dengan yang beda, beda keimanan bahkan beda suku bangsa, katanya.
3. Isi dari Pancasila mengandung nilai-nilai agama
Kemudian tantangan ketiga, yakni munculnya fenomena orang beragama memiliki paham dan amalan yang secara langsung bertentanganan dengan ikatan-ikatan kebangsaan yang merusak sendi kehidupan berbangsa dan negara.
Orang dengan mudah di muka umum memberhalakan Pancasila yang (dinilai) mengandung unsur-unsur jahat, (disebut) thogut misalnya. Thogut itu semacam berhala yang harus dimusnahkan karena mengandung dampak buruk, beber Lukman.
Padahal, kata Lukman, isi dari Pancasila mengandung nilai-nilai agama. Selain itu, ada juga pihak yang menganggap hormat kepada Bendera Merah Putih adalah menyekutukan Tuhan.
Ketiga hal itu, tegas Lukman, merupakan tangangan moderasi beragama di Indonesia.